Custom Search

Monday 22 December 2008

Mengkritisi Kurikulum dan Gaya Pendidikan Kita

Sepulang dari study di Jepang tahun 2004, saya banyak mengajar di beberapa Universitas di Jakarta, terutama di fakultas atau jurusan yang berhubungan dengan ilmu komputer dan teknik informatika. Saya mengajar mata kuliah yang memang saya kuasai, dan terkait langsung dengan tema penelitian saya. Diantaranya adalah mata kuliah Software Engineering (Rekayasa Perangkat Lunak), Algoritma dan Bahasa Pemrograman (Algorithm and Programming Language), dan Basis Data (Database). Kebanyakan mata kuliah tersebut diajarkan setelah semester 5 (tingkat 3 atau 4). Dalam interaksi belajar mengajar di kelas, saya menemukan beberapa fenomena menarik berhubungan pengetahuan mahasiswa dan kurikulum yang diajarkan di universitas.
Saya menemukan tipe mahasiswa yang ketika saya terangkan dia kesulitan menangkap beberapa konsep yang seharusnya sudah dia dapat di semester sebelumnya. Katanya, itu tidak diajarkan di universitas tersebut. Fenomena ini terjadi dalam universitas yang memotong (mengubah) beberapa kurikulum yang seharusnya diajarkan, karena tidak ada SDM pengajar (dosen). Di lain pihak, saya menemukan fenomena lain dimana mahasiswa mengatakan bahwa dia mengenal beberapa konsep yang saya singgung, hanya dia lupa mata kuliah yang mengajarkannya. Fenomena ini terjadi di universitas yang mencekoki mahasiswanya dengan mata kuliah berlebih, dengan argumentasi bahwa supaya mahasiswa mendapat pengetahuan secara lengkap. Sering dosen mengajar bukan pada bidang yang dikuasai, hal itu terpaksa dilakukan oleh universitas untuk mengejar mata kuliah yang harus jalan. Dua-duanya ternyata membuat mahasiswa jadi linglung, yang satu linglung karena memang tidak pernah diajarkan, dan yang lain linglung karena terlalu banyak yang diajarkan. Intinya sih kedua-duanya sama-sama nggak ngerti ;) .

Fenomena aneh lain tentunya masih banyak, misalnya mahasiswa tingkat 3 jurusan teknik informatika (atau ilmu komputer) yang tidak kenal siapa Dennis Ritchie ;) , tidak bisa membuat program meskipun hanya untuk sebuah fungsi untuk memunculkan Hello World (apalagi mengkompilenya), tidak paham tentang paradigma pemrograman, juga tidak paham apa itu kompiler, shell, pointer, fungsi, array, dan tentu semakin mual-mual kalau saya sebut algoritma atau struktur data :( .

Bagaimana seorang mahasiswa Ilmu Komputer belajar? Saya mencoba memberi gambaran umum dengan mengambil studi kasus bagaimana jurusan ilmu komputer di Saitama University mengatur kurikulumnya. Saitama University bukan termasuk universitas yang terbaik untuk ilmu komputer, umurnya masih sangat muda dengan SDM pengajar (professor) yang juga terbatas, bahkan beberapa professor diambil dari jurusan elektro untuk beberapa mata kuliah tertentu. Ini tidak mengurangi keseriusan universitas untuk menyajikan pendidikan dan kurikulum terbaik untuk mahasiswa-mahasiswanya.

Saya mulai program undergraduate (S1) di Department of Information and Computer Sciences, Saitama Univesity tahun 1995. Tingkat I (semester 1 dan 2), mata kuliah dasar (kiso kamoku) sangat dominan. Kalkulus, statistik, probabilitas, fisika dasar, kimia dasar, discrete mathematics, dan mata kuliah dasar lain banyak diajarkan. Semester 2 sudah ada beberapa mata kuliah jurusan (senmon kamoku) yang diajarkan, diantaranya adalah bahasa pemrograman, bahasa C (prosedural), HTML, dengan praktek lab untuk mengenal Unix, shell, text editor (emacs), laTeX (TeX), gnuplot, kompiler, teknik typing 10 jari, dsb. Pada saat masuk tingkat II (semester 3), saya menyadari bahwa mata kuliah tingkat I membekali saya dengan beberapa tool dan konsep dasar, sehingga saya bisa survive mengikuti proses belajar mengajar di tingkat selanjutnya. Lab komputer hanya berisi Unix terminal. Seluruh laporan dan tugas harus ditulis dengan laTeX dengan text editor emacs, apabila memerlukan bahasa pemrograman harus dibuat dalam bahasa C dan dikompilasi dengan GCC. Apabila ada data yang harus ditampilkan dalam bentuk grafik, bisa menggunakan Gnuplot. Setiap mahasiswa harus mempunyai situs web (homepage), dimana selain berisi aktifitas pribadi, juga berisi seluruh laporan dan tugas yang dikerjakan. Selain lewat situs web, laporan harus dikirim dengan menggunakan email ke professor pengajar, dalam format PS atau PDF dengan source dari laTeX.

Yang menarik, bahwa gaya pendidikan yang ditempuh menganut konsep korelasi, berhubungan, saling mendukung dan terarah dari semester 1 sampai akhir. Skill terhadap komputer dan bahasa pemrograman juga cukup dalam, karena ada kewajiban menguasai bahasa C, HTML, Unix, Linux, Shell, dsb yang bukan untuk ritualitas mata kuliah semata, tapi untuk bekal sang mahasiswa supaya bisa survive di jenjang semester berikutnya. Apakah tidak diajarkan paradigma dan bahasa pemrograman lain? jawabannya adalah diajarkan, tetapi untuk konsumsi mahasiswa tingkat 3 (semester 5 dan 6). Pemrograman berorientasi objek (Java), functional programming (LISP dan Scheme), dan Prolog diajarkan pada semester 5 dan 6 untuk membidik supaya sang murid “nyantol” ketika mengikuti mata kuliah Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) dan Rekayasa Perangkat Lunak (Software Engineering). Dan dengan sebelumnya menguasai bahasa prosedural seperti C, kita semakin “ngeh” tentang pentingnya paradigma berorientasi objek ketika mendalami mata kuliah tentang pemrograman berorientasi objek.

Korelasi mata kuliah ini nampak juga dari deretan gaya pengajaran, setelah mahir berbahasa C, kita diminta ngoprek Minix yang terbuat dari bahasa CÂ (sistem operasi buatan Andrew S. Tanenbaum, yang menginspirasi Linus Torvald membuat Linux) pada mata kuliah Operating System (Sistem Operasi), membuat sendiri shell (dengan fungsi yang mendekati bash dan cshell) diatas sistem operasi yang sudah kita oprek, dan diminta mendesain dan mengembangkan bahasa pemrograman sendiri di mata kuliah Compiler Engineering (teknik kompilasi). Berurutan, berhubungan, tetap fokus dan mendalam, itu mungkin resep desain kurikulum yang diajarkan.

Pada saat tingkat 2 dan 3 itulah sang mahasiswa diarahkan untuk menuju arah kompetensi sesuai dengan yang diinginkan. Dan yang pasti, hampir seluruh mahasiswa mendapatkan “bekal” dan “skill” yang relatif sepadan untuk bergerak. Mahasiswa yang ingin melanjutkan karier menjadi seorang Programmer, disiapkan mata kuliah Struktur Data, Algorithm, Programming Language, Compiler Engineering, Automaton dan Formal Language. Yang ingin jadi Software Engineer, harus fokus mengikuti mata kuliah Software Engineering, Industrial Software Engineering, System Development Engineering, Software Project Management, dsb. Yang ingin berkarier di perusahaan animasi dan grafis, harus serius mengikuti mata kuliah Computer Graphics, Image Processing, CAD Enginering, Pattern Recognition, dsb. Yang siap bergelut di perusahaan Telekomunikasi, harus melahap mata kuliah Information Theory, Communication System, Signal Processing, Speech Processing, dsb. Yang ingin ke arah Hardware, harus menguasai mata kuliah Electronic Circuits, Electronic Devices, Computer Architecture, Quantum Mechanics, Logic Circuits, dsb. Bagaimana dengan yang tertarik dengan Kecerdasan Buatan? harus mau berpusing-pusing ria di mata kuliah Artificial Intelligence, Expert System, Knowledge Engineering, Neural Network, dsb.

Rencana pengembangan karier ini semakin matang dan tertata ketika masuk ke tingkat 4, seluruh mahasiswa harus menjalani 1 tahun terakhir di grup penelitian yang dipimpin oleh seorang professor. Penelitian dan thesis (tugas akhir) sifatnya wajib dilakukan, untuk memperdalam dan memahami implementasi riil dari bidang ilmu peminatan yang direncanakan dan dicita-citakan sang mahasiswa. Apa itu bidang ilmu peminatan? Ya bidang yang sudah saya sebut diatas tadi. Programming, Software Engineering, Communication System, Computer Graphics, Artificial Intelligence, Computer Hardware, Networking, dsb. Masing-masing professor dengan grup penelitian biasanya fokus di satu atau dua bidang ilmu peminatan, termasuk didalamnya penelitian yang dilakukan dan mata kuliah yang diajar. Tidak ada seorang professor Software Engineering yang mendapat jatah mengajar mata kuliah Computer Graphics, karena memang bukan bidangnya. Kalaupun bisa memberikan, tentu tidak menguasai the root problem (akar permasalahan) yang ada di bidang tersebut, ini yang membuat mata kuliah jadi hambar, tidak mendalam dan mahasiswa jadi bingung memahami apa hakekat dari mata kuliah tersebut.

Jadi masing-masing mata kuliah ada arah, ada desain yang ingin dicapai, dan ini yang dijelaskan di awal perkuliahan. Tidak ada kegiatan OSPEK yang berisi penyiksaan dan penghinaan, tidak ada hura-hura pesta masuk perguruan tinggi, yang ada adalah penjelasan tentang kurikulum secara komprehensif. Sang mahasiswa ingin menjadi apa, tertarik di bidang apa, itu yang dibidik dan diarahkan oleh universitas dengan penjelasan desain kurikulum beserta dengan mata kuliah apa yang sebaiknya diambil oleh sang mahasiswa. Jumlah kredit untuk syarat kelulusan S1 juga tidak sepadat Indonesia, hanya sekitar 118, sudah termasuk didalamnya penelitian dan tugas akhir yang dihitung sekitar 10-12 kredit. Jadi total kredit dari mata kuliah hanya sekitar 106. Kelonggaran waktu yang ada dapat kita gunakan untuk kerja parttime di perusahaan-perusahaan IT, mengasah kemampuan jadi programmer, network engineer, admin, software designer, dsb. Mahasiswa mendapatkan konsep di kelas, dan mematangkan diri di lapangan, tempat kita menggarap project maupun tempat kerja. Itu adalah strategi penting dalam mengkader para computer scientist.Â

Universitas di Indonesia yang membuka fakultas/jurusan Ilmu Komputer dan Teknik Informatika harus berbenah. Tidak hanya berambisi mengejar jumlah murid karena konsep aji mumpung (mumpung TI sedang booming, terima mahasiswa sebanyak banyaknya :( ), tapi juga harus bertanggungjawab terhadap figur dan karakter hasil didikan dan lulusan universitasnya. Untuk para calon mahasiswa, pilihlah Universitas yang memiliki kurikulum dan dosen pengajar yang baik. Jangan memilih jurusan karena trend, ikut-ikutan teman, atau alasan tidak logis lainnya. Pilihlah karena memang kita berminat untuk berkarier di bidang tersebut.[diambil dari http://romisatriawahono.net]
Selengkapnya.....

Friday 14 November 2008

Obama, 2008

Weep no more, my lady,
Oh weep no more today

Kau kembali ke pojok yang agak diterangi matahari di kerimbunan hutan itu. Kau kembali dengan mesin waktu yang tak sempurna, tapi masih kau dengar kor itu, My Old Kentucky Home, lagu murung yang bertahun-tahun terdengar sampai jauh lepas dari Sungai Mississippi, sejak Stephen Foster menulisnya. Itu tahun 1853. Budak belian hitam yang mencoba jeda dari terik dan jerih ladang tembakau. Sebuah selingan sederhana dari rutin panjang yang tak pernah dinamai “Penghisapan”. Sebuah sudut hutan yang jadi majelis tersembunyi. Sebuah ruang buat orang-orang yang dirantai dan dinista untuk berkumpul dan bertanya: apa sebenarnya semua ini?

Kau tak tahu kapan kau datang. Tapi dengan mesin waktu yang tak sempurna kau lihat seorang perempuan tua berbicara di depan majelis itu, di depan jemaat yang takut menyebut nama Tuhan. Ia mengingatkan kamu kepada Baby Suggs dalam Beloved Toni Morrison. Kau dengar ia berbicara tentang sesuatu yang menakjubkan tapi diabaikan, sesuatu yang biasa tapi tak terduga-duga: daging, jangat, tulang, sendi yang sanggup menanggung pukulan dan dera perbudakan, kelenjar yang menitikkan air mata, jantung yang sesak sebelum tangis, tubuh yang menyembuhkan lukanya sendiri, badan yang dari kepedihan bisa menyanyi, menari, menyanyi.

Saudara-saudaraku, tubuh kita bisa mengejutkan kita. Kadang-kadang dengan kegagahan. Kadang-kadang dengan keindahan. Semuanya terbatas, tapi dengan itu kita menggapai yang tak terhingga. Semuanya fana, tapi tiap kali memberi arti yang kekal. Maka jangan menangis lagi.

Kau lihat orang-orang terpekur. Kau mungkin tak tahu kenapa: mereka ingin percaya. Tapi mereka juga mendengar, konon di atas tubuh bertahta Takdir. Yang tetap. Yang tegar. Yang lurus dan terang-benderang. Yang tangan-tangannya menebarkan daya tersendiri, merasuki ke otak, setitik demi setitik.

Otak itulah yang kemudian memproduksi alasan. Telah lahir penjelasan yang gamblang, bahwa ada nasib yang memasang pigmen dalam kulit. Pigmen kita membuat hakikat kita. Ada orang hitam, ada kulit “negro”, ada juga yang “putih”. Warna-warna itulah yang mengarahkan sejarah. Identitas adalah nujum. Ada esensi sebelum eksistensi.

Tapi benarkah Takdir merancang semuanya? Di majelis hutan Mississipi itu, suara perempuan tua itu merendah: “Saudara-saudaraku, kegelapan menyertai kita.”

“Kegelapan di balik pori-pori, di ceruk sel darah merah dan getah bening. Kegelapan dalam suara serak, dalam lagu Old Black Joe yang memberat menjelang ajal. Kegelapan Maut, kegelapan kata-kata Tuhan yang tak selamanya kita mengerti, kegelapan yang mengelak dari Takdir yang makin lama makin putih.

“Kegelapan yang membiarkan kita tak punya nama, yang menampik nama bila nama adalah daftar milik yang jelas dari tuan-tuan kita. Kegelapan hutan ini yang teduh. Kegelapan yang melindungi kita dari Kebengisan.”

Blood on the leaves
And blood at the root
Black bodies swinging
In the southern breeze
Strange fruits hanging
From the poplar trees

Kebengisan itu tak pernah kau lihat. Mesin-waktumu yang tak sempurna hanya menemukan potret tubuh George Hughes yang digantung di dahan pohon. Tak hanya digantung. Ia dibakar. Ini Sherman, Texas, 1930.

Kau bisa baca di perpustakaan kota itu: “negro” buruh tani ini ditangkap dengan tuduhan membunuh majikannya dan memperkosa istri si tuan. Di kampung kecil yang jarang dihuni itu, bisik-bisik beredar: Hughes adalah “hewan yang tahu betul apa yang dimauinya”.

Para petani kulit-putih yang tinggal di dusun itu telah lama bringas, dan kini punya alasan buat lebih bringas. Mereka yang selamanya takut, curiga, dan benci kepada makhluk dengan pigmen berbeda itu kini punya dalih. Mereka serbu gedung pengadilan tempat Hughes ditahan. Mereka bakar. Hughes mereka seret ke luar dan mereka lemparkan ke atas truk. Polisi tak berbuat apa-apa – malah membantu mengatur lalulintas. Di sebuah lapangan dekat tempat tinggal orang hitam, Hughes diikat dan dikerek ke atas sebuah pohon. Api besar dinyalakan.

Dalam sebuah potret kau lihat: Hughes yang tinggal arang, terpentang, bergayut, pada pokok yang rendah.

Orosco mengabadikan adegan itu dalam sebuah litograf dari tahun 1934, Negros Colgados. Lihat, tak cuma satu “negro”. Tubuh-tubuh yang dibunuh itu begelantungan seperti puluhan buah yang aneh. Billie Holiday mengungkapkannya dalam Strange Fruits: suaranya setengah serak, dengan pilu yang seakan-akan telah jadi napas: Darah pada daun/ darah pada akar/ Jasad hitam yang terayun-ayun/di angin selatan/ buah ganjil yang tergantung/ di pohon poplar.

Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak pada litograf Orosco: pohon dan dahan itu – tak dihiasi daun-daun — seakan-akan menegaskan kekuatan yang lurus, lugas, tegak. Juga ia tempat pameran yang meyakinkan. Tak sengaja Orosco mengingatkan kita bahwa sebuah negeri, sebuah tata, adalah bangunan yang kuat karena ia memamerkan sesuatu yang lurus dan sekaligus mengancam. Dengan kata lain: kebengisan.

Kebengisan itu sering ditutupi dengan kata-kata: “utuh”, “harmonis”, “mufakat”, seakan-akan sesuatu yang mulia telah diraih. Seakan-akan tak ada pergulatan politik di baliknya. Seakan-akan yang ada hanya arsitektur Tuhan. Tapi nyanyian Billie Holiday mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang disembunyikan: ia berbisik tentang daerah pedalaman Selatan Amerika yang punya sejarah yang gagah, the gallant South, tapi ia segera menyebut wajah kesakitan orang-orang hitam yang tercekik. Ia menyebut “harum segar manis kembang magnolia”, tapi di baris berikutnya “bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba”.

Tiap tata dibentuk dengan taksonomi: “putih”, “hitam”, “borjuis”, “proletar”, “asli”, “tak-asli”, “mayoritas”, “minoritas”. Tiap taksonomi dimulai dengan kepalsuan dan pemaksaan.

Tapi itu berarti ini tak ada tangan Takdir yang merancang. Tak ada hakikat sebelum apa yang diperbuat. Tak ada esensi sebelum eksistensi. Pembagian, apalagi pemisahan rasial, sepenuhnya hasil sebuah proses politik. Si “hitam” bukan jadi “hitam” karena ia diciptakan “hitam”, melainkan karena ia distempel dan disensus dan dikelompokkan ke dalam kategori “hitam”. Sejarah “hitam” dan “putih” adalah riwayat pergelutan, terkadang dengan pertempuran, terkadang dengan teriak mengajak maju, serempak, berbaris, 1000 pekik dari pita suara yang panas.

Yes, we can
Yes, we can

Kau dengar suara itu di kerumunan manusia di Grant Park, Chicago, 4 November 2008 malam. Ya, kita dapat. Ya, kita sanggup. Kita – kata orang-orang itu – sanggup membuat seorang Amerika dengan nama yang aneh dipilih jadi presiden dengan dukungan yang meyakinkan. Kita sanggup mengubah warisan sejarah yang telah memicu Perang Saudara di abad ke-19. Kita sanggup mengguncang pohon tempat kebengisan dipajang seakan-akan sebuah struktur yang cantik.

Tapi ini bukan hanya cerita kemenangan seorang yang bisa melintasi taksonomi “hitam-putih”. Ini terutama cerita kemenangan dari pengertian lain tentang “politik”. Sebab yang datang bersama Obama bukanlah politik sebagai kiat untuk mendapatkan yang-mungkin. Di tahun 2008 ini, di Amerika Serikat kita justru menyaksikan “politik” sebagai hasrat, setengah nekad, untuk menggayuh yang-tak-mungkin.

Yang-tak-mungkin memang akan selamanya tak-mungkin. Tapi yang-mustahil itu jadi berarti karena ia memanggil terus menerus, dan ia membuat kita merasakan sesuatu yang tak terhingga – yang agaknya menyebabkan jutaan orang bersedia antri berjam-jam untuk memilih dan mengubah sejarah: mereka menyebutnya Keadilan, atau Kemerdekaan, atau nama lain yang menggugah hati. Seperti cinta yang terbata-bata tapi tulus. Seperti sajak yang hanya satu bait tapi menggetarkan.

Seperti tubuh-tubuh yang kau lihat menyanyi di hutan itu.

Weep no more, my lady,
Oh, weep no more today.

~Goenawan Muhammad, Majalah Tempo Edisi 10 Nopember 2008~
Selengkapnya.....

Thursday 6 November 2008

Kaki Langit

Pahlawan Tak Dikenal. Pahlawan Kita. Antara ”tak dikenal” dan ”kita” ada pertautan dan juga jarak. Ia yang gugur itu adalah seorang yang sebenarnya asing—bukan yang dalam bahasa Inggris disebut foreigner, melainkan stranger—tapi ia juga bagian terdalam dari aku dan engkau. Jika tampak ada yang bertentangan di sini, mungkin itu juga menunjukkan bahwa sebuah bangsa—seperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928 itu—memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara yang asing dan yang tak asing dalam dirinya sendiri.

DI makam pahlawan tak dikenal, kita diberi tahu: ada seorang yang luar biasa berjasa, tapi ia tak punya identitas. Ia praktis sebuah penanda yang kosong. Tapi hampir tiap bangsa, atau lebih baik: tiap ide kebangsaan, memberi status yang istimewa kepada sosok yang entah berantah yang terkubur di makam itu.

Orang yang pertama kali melihat fenomen itu adalah Benedict Anderson. Dalam Imagined Communities-nya yang terkenal itu, ia menulis: ”Betapapun kosongnya liang lahat itu dari sisa-sisa kehidupan yang fana dan sukma yang abadi, tetap saja mereka sarat dengan anggitan tentang ’kebangsaan’ yang membayang bagai hantu.”

Barangkali sebuah bangsa memang harus selalu menyediakan ruang kosong untuk sebuah cita-cita. Seperti kita memandang ke kaki langit yang sebenarnya tak berwujud, tapi kita ingin jelang. Sekaligus, barangkali sebuah bangsa membutuhkan bayangan yang bagai hantu tentang dirinya: antara jelas dan tak jelas.

Pahlawan Tak Dikenal. Pahlawan Kita. Antara ”tak dikenal” dan ”kita” ada pertautan dan juga jarak. Ia yang gugur itu adalah seorang yang sebenarnya asing—bukan yang dalam bahasa Inggris disebut foreigner, melainkan stranger—tapi ia juga bagian terdalam dari aku dan engkau. Jika tampak ada yang bertentangan di sini, mungkin itu juga menunjukkan bahwa sebuah bangsa—seperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928 itu—memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara yang asing dan yang tak asing dalam dirinya sendiri.

Seperti sang pahlawan yang tak dikenal itu: yang termasuk dalam ”kita” tak selamanya datang dari puak kita. Salah satu anasir dalam bangsa bisa bekerja untuk unsur yang lain, meskipun keduanya tak saling kenal betul, bahkan ada saat-saat ketika yang satu disebut ”asing” oleh yang lain. Itulah sebabnya kepeloporan para pendiri Indische Partij tak dapat dilupakan: ”orang Indonesia” adalah orang yang bisa melintasi batas, menemui yang ”asing”, untuk jadi satu—tapi di situ ”satu” sebenarnya sama dengan yang tak terhingga. Sebab sebuah bangsa yang tak didefinisikan oleh ikatan darah adalah sebuah bangsa yang selalu siap menjangkau yang beda—dan yang beda tak bisa dirumuskan lebih dulu, tak bisa dikategorisasikan kemudian. Ia tak tepermanai.

Seperti pahlawan tak dikenal itu: ia memberikan hidupnya buat kau dan aku, tapi ia bukan bagian kau dan aku.

Maka tak aneh jika dalam semangat kebangsaan, tersirat sebuah paradoks: sesuatu yang universal ada di dalamnya. Sebab sebuah bangsa pada akhirnya hanya secara samar-samar, seperti hantu, bisa merumuskan dirinya sendiri. Yang penting akhirnya bukanlah definisi, melainkan hasrat. Renan menyebut bahwa bangsa lahir dari ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti halnya tiap hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak pernah berhenti kecuali mati.

Dalam hal itu, orang sering lupa bahwa bangsa sebenarnya bukan sebuah asal. Ia sebuah cita-cita—dan di dalamnya termaktub cita-cita untuk hal-hal yang universal: kebebasan dan keadilan. Bangsa adalah kaki langit.

Kaki langit: impian yang mustahil, sulit, tapi berharga untuk disimpan dalam hati. Sebab ia impian untuk merayakan sesuatu yang bukan hanya diri sendiri, meskipun tak mudah.

Sebuah bangsa adalah sebuah proses. Jangan takut dengan proses itu, kata orang yang arif. Tak jarang datang saat-saat yang nyaris putus harapan, tapi seperti kata Beckett dalam Worstward Ho, ”Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik lagi.”

~Goenawan Muhammad, Caping, Majalah Tempo Edisi 36/XXXVII 27 Oktober 2008~


Selengkapnya.....

Saturday 6 September 2008

Wahai Dosen, Bicaralah Dengan Bahasa Manusia!

Itulah teriakan para mahasiswa kepada dosennya, yang mungkin nggak pernah tersampaikan, dan saya yakin akan menjadi blunder kalau diungkapkan. Kecuali bagi para mahasiswa yang memiliki kebebasan nilai IPK, kebebasan pola pikir, kebebasan penelitian, kebebasan finansial dan kebebasan ketergantungan serta ketaatan kecuali kepada satu yang Diatas. Mahasiswa pedjoeang yang tetap mau mengatakan kebenaran meskipun itu sangat sulit, pahit dan sakit. Tidak saya rekomendasikan, karena ungkapan semacam “Sensei no jugyo wa sonna naiyo deshitara, i-me-ru de okutta hou ga yoi dewanai deshouka?” (kalau isi kuliahnya kayak gitu, lebih baik kalau anda kirimkan ke saya lewat email saja prof) :) , saya jamin akan membuat nilai kita jadi Fuka alias tidak lulus. Jangan dilakukan, cukup saya yang jadi korban harus mengambil mata kuliah yang sama selama tiga tahun berturut-turut, sampai akhirnya harus puas mendapatkan nilai Ka alias C dari sang Professor. Professorku yang akhirnya jadi sahabatku dan membimbing penelitianku, meskipun tetap tidak bisa menghilangkan cacat nilaiku :D
Itulah teriakan para mahasiswa kepada dosennya, yang mungkin nggak pernah tersampaikan, dan saya yakin akan menjadi blunder kalau diungkapkan. Kecuali bagi para mahasiswa yang memiliki kebebasan nilai IPK, kebebasan pola pikir, kebebasan penelitian, kebebasan finansial dan kebebasan ketergantungan serta ketaatan kecuali kepada satu yang Diatas. Mahasiswa pedjoeang yang tetap mau mengatakan kebenaran meskipun itu sangat sulit, pahit dan sakit. Tidak saya rekomendasikan, karena ungkapan semacam “Sensei no jugyo wa sonna naiyo deshitara, i-me-ru de okutta hou ga yoi dewanai deshouka?” (kalau isi kuliahnya kayak gitu, lebih baik kalau anda kirimkan ke saya lewat email saja prof) :) , saya jamin akan membuat nilai kita jadi Fuka alias tidak lulus. Jangan dilakukan, cukup saya yang jadi korban harus mengambil mata kuliah yang sama selama tiga tahun berturut-turut, sampai akhirnya harus puas mendapatkan nilai Ka alias C dari sang Professor. Professorku yang akhirnya jadi sahabatku dan membimbing penelitianku, meskipun tetap tidak bisa menghilangkan cacat nilaiku :D

Mungkin itu salah satu tema diskusi ketika bertemu dengan teman-teman dosen di Puskom UNS Solo. Workshop, meskipun dengan undangan mendadak, tapi bak wangsit yang memberi tanda ke insting saya bahwa acara ini wajib saya datangi. Bukan hanya karena telepon mbak Jatu yang merdu yang meminta saya untuk sekalian mabid sambil ngisi liqo di UNS Solo hehehe, atau karena kesabaran mas Kurnia yang ngejar kereta saya dari Boyolali dengan motor bututnya, dan akhirnya berhasil menjemput saya jam dua pagi di Stasiun Balapan Solo, dan juga bukan karena sodoran kertas untuk tanda tangan dari mbak Asih :) Saya merasa perlu mengajak bapak ibu dosen untuk kembali memperhatikan mahasiswa kita.

Saya sebenarnya dalam keadaan kepenatan yang luar biasa pada waktu itu. Dua hari di Yogyakarta, hari Selasa (19 Agustus 2008) di STMIK Amikom untuk memberi materi tentang kesiapan kerja wisudawan dan Rabu (20 Agustus 2008) ke Universitas Atmajaya Yogyakarta mbantu pak Irya ngompori dosen-dosen untuk membuat eLearning content. Hari ketiga, perjalanan darat selama 5 jam antara Jogja-Purwokerto meluluh lantakkan kekuatan saya, memporak porandakan kemampuan otak kiri saya, membenamkan senyum saya sampai ke titik nadir (halah! ;) ). Mandi, sholat, sarungan, datangnya pesan perdjoeangan sang istri dan diskusi dengan para prajurit saya, garda depan Romi Satria Wahono’s Army alhamdulillah membangkitkan kekuatan saya. Revolusi belum selesai bung, perdjoeangan harus tetap dilakukan! :) Alhamdulillah setelah acara seminar grand opening prodi Teknik Informatika di Unsoed selesai, saya bergegas, meninggalkan kopi ginseng saya ke mas Adnan (thanks om), meloncat ke kereta Bima yang merayap senyap menuju kota Solo.

Kembali ke tema bahasan, saya mengajak bapak ibu dosen di UNS Solo untuk mencoba memikirkan kembali hakekat kita ngajar. Ngajar mahasiswa mengandung makna besar mendidik dan membina generasi muda kita. Dalam sejarah kebangkitan bangsa-bangsa, peran mahasiswa selalu tercatat, menjadi garda depan perubahan, kontribusinya sangat besar dan dominan. Mahasiswa adalah anasirut taghyir alias agen perubahan yang akan mewarnai masa depan dan membentuk karakter suatu bangsa. Bayangkan, pendidikan dan pembinaan orang-orang seperti itu diserahkan ke kita, para dosen dan pendidik. Beban berat yang harus kita pikul dan perlu perdjoeangan untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.

Saya sempat melakukan studi kecil-kecilan, tentang harapan mahasiswa kepada dosennya. Dosen seperti apa yang sebenarnya mereka harapkan. Cukup menakjubkan, bahwa mahasiswa sangat jujur menilai kita. Sebenarnya posting ini adalah satu otokritik kepada diri saya sendiri, karena masih banyak karakter saya yang mungkin tidak diharapkan oleh mahasiswa. Kalau kita simpulkan ada empat karakteristik dosen yang diharapkan mahasiswa, dan jujur saja akan mereformasi dan mengantarkan kita menjadi sosok Dosen 2.0 :)

1. Memiliki Kemampuan Verbal: Pintar jangan untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Bahasa gampangnya, permintaan mahasiswa kepada kita supaya belajar untuk mengajar, dan bukan hanya belajar untuk diri kita sendiri. Dosen diharapkan punya keseimbangan dalam pengetahuan taksit (know-how dan pengalaman lapangan) dan pengetahuan eksplisit (tertulis di textbook dengan berbagai teoritikalnya). Beri mahasiswa lebih banyak pengetahuan taksit karena know-how dan pengalaman lapangan yang kita miliki akan membuka wawasan mereka lebih luas. Memanjang-lebarkan penjelasan ke bahasan yang sudah jelas bin cetho tertulis di buku akan membuat kuliah kita jadi kering, garing dan membosankan. Kebiasaan kita dalam menggunakan bahasa sulit dalam menjelaskan suatu hal juga dikritik, ditambah dengan nafsu untuk memasukkan semua materi kuliah ke slide presentasi. Jangan buat kacamata kita semakin tebal, itu harapan para mahasiswa :) Mari kita gunakan bahasa manusia yang baik dan benar, dosen datang untuk memahamkan ke mahasiswa, bukan untuk menambah pusing mahasiswa yang sudah pusing dengan tugas mandiri, UTS dan UAS :)
2. Memiliki Kemampuan Tulis: Kritikan paling tajam adalah kebiasaan kita menggunakan bahasa tulis ala paper yang dingin dan formal. Ngeblog adalah terapi yang sangat efektif mengatasi kelemahan kita yang tidak terbiasa menggunakan bahasa manusia dalam menulis. Posting artikel populer dalam bentuk journal pribadi yang banyak menggunakan ungkapan hati ala blog, akan mereformasi gaya tulisan kita. Menulislah dengan hati, karena kekuatan kata-kata kita akan memberikan motivasi tinggi kepada para mahasiswa dan mahasiswi. Jangan pernah nyontek tulisan orang lain karena itu akan blunder, membuat generalisasi negative image ke semua perilaku kita. Apalagi kalau menerapkan standard ganda dengan membuat tidak lulus mahasiswa yang melakukan copy-paste pada laporan tugas mandirinya. Kegiatan copy-paste mahasiswa kadang harus disikapi dengan bijak, mungkin mereka belum kita ajarkan tentang peraturan APA masalah pengambilan referensi dan pembuatan kutipan. Justru copy-paste yang dilakukan dosen dan pendidik adalah penghianatan besar, membuat damage yang sangat luas ke lingkungan dan kegiatan hina yang tidak termaafkan.
3. Open Mind dan Karakter Berbagi: Terbuka, jujur dan mau menerima kritik adalah sifat penting yang diharapkan mahasiswa ke dosennya. Karakter ringan tangan, senang berbagi ilmu dan project ;) , mau bergaul dengan mahasiswa dan bahkan mendekati mereka dengan “bahasa mereka” adalah sifat yang menentramkan mahasiswa. Mahasiswa, selain sebagai murid, juga adalah teman, partner dan customer dari sang dosen. Janganlah dosen bersifat terlalu jaim, jayus apalagi jablai, karena itu akan membuat mahasiswa makin tidak simpatik. Kalau sudah nggak simpatik, sebaik apapun ilmu pengetahuan dan nasehat yang kita berikan akan hancur, musnah dan mahasiswa akan main hati (romi and the backbone) :) Mari kita menjaga hati mereka dan memberikan janji suci (romi and nuno) kepada para mahasiswa, “wahai para mahasiswaku, senyummu juga sedihmu, adalah hidupku“. Kalau perlu sebutkan dengan ikhlas, “akulah penjagamu, akulah pelindungmu, akulah pendampingmu, di setiap langkah-langkahmu (romi maulana, gigi)“. Dijamin mahasiswa kita pasti klepek-klepek dan mengatakan “everything i do, i do it for you sir …” :D Kadang mengikuti behavior mereka dengan membuat account friendster dan facebook juga bukan pilihan buruk. Meminta mereka membuat laporan dalam bentuk tulisan lewat fitur blog di friendster kadang saya lakukan untuk men-terapi mahasiswa-mahasiswa saya yang sudah sulit dikendalikan lewat cara konvensional :)
4. Memiliki Kemampuan Teknis: Cukup mengejutkan bahwa technical skill ternyata bukan hal utama yang diharapkan oleh mahasiswa ke dosennya. Sudah menjadi hal yang jamak bahwa kemampuan teknis khususnya yang berhubungan dengan pengetahuan eksplisit, sebenarnya bisa didapat dari berbagai literatur, buku dan ebook yang didapat dengan mudah oleh mahasiswa lewat internet. Dosen diharapkan oleh mahasiswa untuk jujur, kalau memang nggak ngerti ya bilang saja nggak ngerti, jangan malah muter-muter dan bikin pusing mahasiswa :) Perlu saya beri catatan khusus, pada jurusan computing, mahasiwa kita kadang punya technical skill yang lebih tinggi daripada kita, misalnya berhubungan dengan programming, troubleshoting, dan trend teknologi. Berkata tidak tahu, adalah suatu hal yang biasa dalam iklim pendidikan di kampus. Mengungkapkan akan mencoba mempelajari masalah itu dan dijadikan bahan diskusi pertemuan pekan depan, adalah jawaban dosen pedjoeang yang jujur dan bertanggungjawab. Sekali lagi, dosen nggak perlu keminter atau merasa lebih pinter daripada mahasiswanya untuk urusan skill teknis. Karakter dosen yang merasa menjadi newbie forever, selalu perlu belajar dan belajar lagi, selalu berdjoeang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dan berusaha keras menyelesaikan masalah mahasiswanya, adalah karakter wajib, dan sifatnya tidak hanya wajib kifayah, tapi wajib ain :)

Untuk para dosen, sekali lagi, anak-anak muda, para pembaharu dan penentu masa depan bangsa ada di depan kita. Kitalah yang menentukan apakah mereka akan menjadi seorang pemimpin besar, mujaddid besar, dan ilmuwan besar, yang akan memperbaiki republik ini. Dan jangan lupa, bahwa bahwa kita jugalah yang akan membuat mereka menjadi penjahat dan koruptor besar yang akan memporak porandakan republik ini. Pilihan ada di tangan kita, para dosen.

Untuk para mahasiswa, beri kami kesempatan untuk berbenah dan memperbaiki diri. Insya Allah kami akan berusaha menjadi pembimbing dan pendidik yang baik untuk anda sekalian. Kami tidak menginginkan apapun dari kalian semua, selain harapan supaya mahasiswa tetap komitmen untuk belajar dan berdjoeang keras, serta pantang menyerah. Hentikanlah sikap main-main, selalu jaga karakter serius dan profesional dalam kegiatan berhubungan dengan tugas belajar. Bersikaplah seperti layaknya seorang ksatria dan agen perubahan, yang akan mengantarkan republik ini ke jalan yang lebih baik.

Tetap dalam perdjoeangan![Romi Satria Wahono--diambil secara utuh dari http://romisatriawahono.net]
Selengkapnya.....

Tuesday 8 July 2008

Mencoba Memberi Warna dengan DIES NATALIS UMB KE-17

Tak terasa usia Universitas Muhammadiyah Bengkulu telah menginjak angka ke 17. Kalau ia manusa, maka remaja dewasalah ia saat ini. Perempuan beranjak dewasa yang sedang berkembang atau pemuda yang sedang ideal dengan berjuta ide-ide cemerlah di kepalanya. Pun demikian dengan UMB. Kampus Islami, yang secara perlahan namun pasti telah menjadi kebanggaan dan ciri khas masyarakat di Provinsi Bengkulu bahkan hingga ke Provinsi tetang seperti Sumatera Selatan, Sumbar, Jambi dan Lampung. Dengan Dies Natalis ke 17 ini, selain melakukan peringatan untuk terus memperkuat landasan, UMB mencoba meneriakkan ide-ide unik yang tidak kadang terlihat tidak biasa di mata orang.
Tak terasa usia Universitas Muhammadiyah Bengkulu telah menginjak angka ke 17. Kalau ia manusa, maka remaja dewasalah ia saat ini. Perempuan beranjak dewasa yang sedang berkembang atau pemuda yang sedang ideal dengan berjuta ide-ide cemerlah di kepalanya. Pun demikian dengan UMB. Kampus Islami, yang secara perlahan namun pasti telah menjadi kebanggaan dan ciri khas masyarakat di Provinsi Bengkulu bahkan hingga ke Provinsi tetang seperti Sumatera Selatan, Sumbar, Jambi dan Lampung. Dengan Dies Natalis ke 17 ini, selain melakukan peringatan untuk terus memperkuat landasan, UMB mencoba meneriakkan ide-ide unik yang tidak kadang terlihat tidak biasa di mata orang.

Perhelatan Dies Natalis ke 17 ini merupakan serangkaian acara yang telah dimulai dari tanggal 16 Juni hingga 13 Juli mendatang. Ada bermacam tujuan namun yang jelas, Dies kali ini adalah untuk menempatkan diri UMB sebagai kampus yang berbeda.

Hal ini terlihat dari beragamnya bentuk kegiatan yang menjadi bagian dari acara Dies kali ini. Dari bidang Olah Raga ada Futsal, Catur, Basket, Tenis Meja, Tenis Lapangan, Batminton, dan Volly. Perlombaan di bidang olah raga ini selain bertujuan mencapai prestasi yang setingginy-tingginya juga menjadi ajang bagi UMB untuk memberikan kesempatan berkompetisi kepada masyarakat di lingkungan UMB. Seperti pada turnamen Tenis Lapangan yang melibatkan Tim UMB dengan tim-tim dari luar UMB yang selama ini menjadi rekan kerja UMB. Sedangkan untuk pertandingan Tenis Meja, ajang ini juga menjadi salah satu ajang seleksi PORDA.

Di bidang seni, akan diadakan kegiatan seperti Lomba Pop Song Islami, Soulmate Kampus, Lomba Seni Islami, dan Lomba Memasak. Di bidang keilmuan akan diadakan Lomba Debat Bahasa Inggris.

Dengan beragamnya kegiatan yang dilakukan pada Dies kali, sangat terlihat bahwa UMB secara umum ingin menghadirkan corak sehingga menjadikan UMB sebagai kampus yang plural.

Dies Natalis ke-17 UMB kali ini didukung oleh berbagai sponsor baik sponsor umum maupun per item kegiatan, seperti dari Djarum, LA, BSM dan masih banyak lagi.

Sampai tulisan ini diterbitkan, rangkaian kegiatan tersebut ada yang sudah terlaksana dan sedang berlangsung. Seperti dijelaskan oleh Ir. Jhon Yawahar selaku Ketua Dies Natalis 17 UMB, ada beberapa cabang yang sudah selesai dilakukan yakni Catur, Basket, dan Futsal. Sedang acara Soulmate Kampus sedang berlangsung.

Umur yang ke 17 semoga menjadikan UMB lebih memperteguh citranya sebagai kampus yang Islami.[jp]

Selengkapnya.....

Wednesday 25 June 2008

Tim UMB Menjuarai Arung Sejarah Bahari 2008


Khabar gembira dari perhelatan Arung Sejarah Bahari 2008, yang dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Padang, pada tanggal 18-20 Juni 2008 di Kota Palembang Sumatera Selatan. BPSNT Padang yang membawahi wilayah kerja Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan menyelenggarakan acara dalam rangka mendukung Visit Musi Year 2008 mengambil tema acara "Melacak Warisan Sejarah dan Budaya Masyarakat Palembang".


Khabar gembira dari perhelatan Arung Sejarah Bahari 2008, yang dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Padang, pada tanggal 18-20 Juni 2008 di Kota Palembang Sumatera Selatan. BPSNT Padang yang membawahi wilayah kerja Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan menyelenggarakan acara dalam rangka mendukung Visit Musi Year 2008 mengambil tema acara "Melacak Warisan Sejarah dan Budaya Masyarakat Palembang".
Tim Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) merupakan tim gabungan dari beberapa program studi, meraka adalah Hardiansyah (Bahasa Inggris), Tri Warsito (Fikes), Nanang (Matematika), Tahjudin (Teknik Informatika), Saleh Afif Lubis (Bahasa Inggris), Sukamdani (Tarbiyah). Keenam orang ini merupakan utusan terbaik dari masing-masing program studi. Pembentukan tim ini dipimpin langsung oleh Pembantu Rektor III yang mendelegasikan pencarian anggota tim ke UPTI UMB.

Secara umum, acara ini berbentuk kunjungan wisata ke beberapa objek wisata di Kota Palembang seperti Museum Sultan Badarudin II, Benteng Kuto Besak, Sungai Musi, Kampung Arab dan Pulau Kemarau. Setelah kunjungan ini, peserta mempresentasikan hasil kunjungan tersebut kepada semua peserta, panitia dan masyarakat di sekitar objek wisata.

Dan berdasarkan hasil presentasi, interaksi peserta terhadap masyarakat, keaktifan peserta saat sesi tanya jawab dengan sumber-sumber yang ada di sekitar objek wisata dan penampilan pertunjukan seni pada malam budaya, akhirnya Tim UMB ditetapksan sebagai pemenang pertama. Dengan kemenangan ini, salah satu peserta dari Tim UMB berhak untuk di berangkatkan ke Jakarta untuk mengikuti Arung Sejarah Bahari 2008 di tingkat nasional. Dan atas keberhasilan ini, Provinsi Bengkulu direncanakan akan menjadi tuan rumah Arung Sejarah Bahari 2009 yang akan datang.

Tim UMB yang sekaligus mewakili Provinsi Bengkulu akhirnya kembali ke Bengkulu pada tanggal 20 Juni 2008 dengan membawa kemenangan. Selamat kepada Tim UMB atas keberhasilan ini. Semoga menjadi pelecut untuk berprestasi di bidang yang lain.[jp]
Selengkapnya.....

Tuesday 24 June 2008

Gado-Gado

Bung dan Nona! Ketemua lagi akhirnya kita ini. Setelah sekian waktu lewat begitu saja, dan setelah sekian saat melintas di depan mata kita. Masa kemudian berlalu, dan kemudian kita tertinggal, ditinggal atau kesepian. Ah...terlalu melankolik barangkali menguraikan tentang waktu, yang telah begitu banyak menyita perhatian manusia. Barangkali benar juga adanya apa kata Sapardi Djoko Darmono, "Yang fana adalah waktu!"

Bung dan Nona! Ketemua lagi akhirnya kita ini. Setelah sekian waktu lewat begitu saja, dan setelah sekian saat melintas di depan mata kita. Masa kemudian berlalu, dan kemudian kita tertinggal, ditinggal atau kesepian. Ah...terlalu melankolik barangkali menguraikan tentang waktu, yang telah begitu banyak menyita perhatian manusia. Barangkali benar juga adanya apa kata Sapardi Djoko Darmono, "Yang fana adalah waktu!"

Begitu juga dengan kita, Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Dengan segenap apa yang telah ia lewati, ternyata ia menghidupi dirinya sendiri, dengan caranya dan dengan kemauannya sendiri. Banyak kejadian yang sudah lewat, dan kita senantiasa tak kuasa, sekedar mencatatkannya dalam lembar-lembar sejarah yang bukan untuk kita.

Hari ini, penerimaan mahasiswa baru telah berjalan sepenggal waktu.
Hari ini, radio Jazirah telah mengudara sekian (cukup) lama.
Hari ini, ujian tengah semester sebagin sudah, dan
ujian akhir semester segera tiba.
Hari ini, beberapa hari yang lalu, Tim UMB memenangi Arung Sejarah Bahari 2008 di Palembang.
Hari ini, Turnamen Catur Dies UMB telah mengeluarkan sang juara, dan kita, wakil dari UPTI hanya sanggup bertahan di kelas 4 besar.
Hari ini, musim pemilihan BEM sudah mendingin, walau ada yang berakhir dalam sebuah tanda tanya besar.

Dan hari ini, aku kembali menulis, menyapa engkau, Bung, Nona dan Nyonya. Menulis sekedar mencatatkan apa yang pernah kuingat, dan berharap, sejarah yang berharga ini akan selalu teringat.

Selamat melanjutkan harimu.[jp]
Selengkapnya.....

Thursday 19 June 2008

eLearning sebagai Alat Bantu Pembelajaran

29 Maret 2008 kemarin saya mengisi satu sesi bertema eLearning A to Z di Seminar Pemanfaatan ELearning Sebagai Alat Bantu Pembelajaran yang diselenggarakan oleh LP3T-NF dan Universitas Al Azhar. Ini pertama kali ini saya mengisi di aula Universitas Al Azhar yang megah. Termasuk jenis ruangan yang saya sukai, ukuran besar, sound system bagus, jarak pembicara dengan audiense tidak terlalu jauh, dan yang paling penting adalah suara tidak menggema. Materi eLearning yang saya sampaikan bukan materi baru, sudah saya sampaikan juga di beberapa tempat lain. Hanya susunan materi, data, dan contoh saya rekompilasi supaya sesuai dengan objective acara dan audiense yang kebanyakan bapak-ibu guru.

29 Maret 2008 kemarin saya mengisi satu sesi bertema eLearning A to Z di Seminar Pemanfaatan ELearning Sebagai Alat Bantu Pembelajaran yang diselenggarakan oleh LP3T-NF dan Universitas Al Azhar. Ini pertama kali ini saya mengisi di aula Universitas Al Azhar yang megah. Termasuk jenis ruangan yang saya sukai, ukuran besar, sound system bagus, jarak pembicara dengan audiense tidak terlalu jauh, dan yang paling penting adalah suara tidak menggema. Materi eLearning yang saya sampaikan bukan materi baru, sudah saya sampaikan juga di beberapa tempat lain. Hanya susunan materi, data, dan contoh saya rekompilasi supaya sesuai dengan objective acara dan audiense yang kebanyakan bapak-ibu guru.

Isi materi saya terdiri dari lima bagian:

1. Pengantar eLearning
2. Komponen eLearning: System, Content, Infrastructure
3. eLearning di Amerika dan Singapore
4. Menganalisa Masalah di eLearning
5. Teknik Membangun eLearning yang Sukses

Materi saya gabungan dari beberapa artikel yang sudah saya tulis di sini dan di sana. Saya mengisi bareng mas Tosa dan pak Rusmanto sebenarnya. Hanya pak Rusmanto sepertinya ada acara mendadak di Surabaya. Mas Tosa memberikan materi tentang teknik membangun eLearning dengan opensource (Moodle). Diskusi dan pertanyaan kebanyakan di seputar masalah keengganan pengajar (guru, dosen) untuk sharing materi di eLearning system yang sudah dibangun, masalah eLearning yang belum ada peraturan dari pemerintah, atau sekitar bagaimana teknik meningkatkan motivasi pengguna supaya mau menggunakan eLearning.

Konsep seminar yang diadakan LP3T-NF dan Universitas Al Azhar ini sebenarnya sangat menarik, karena disertai acara eksebisi dan pameran produk-produk eLearning dari berbagai perusahaan atau organisasi. Hanya mungkin promosinya terbatas sehingga gema-nya agak kurang terasa, implikasinya ke peserta eksebisi yang terbatas. IlmuKomputer.Com mendapatkan stand gratis di lantai 1 Universitas Al Azhar. Saya sudah seriusi untuk ikut meramaikan acara 3 hari eksebisi eLearning ini untuk sekaligus melatih teman-teman IlmuKomputer.Com dalam menawarkan produk ke publik.

Terakhir, thanks untuk mas Unggul yang ngopeni saya selama di sana dan sabar menunggu paper saya yang lewat deadline :)[diambil dari http://romisatriawahono.net, karya Bpk. Romi Satria Wahono]
Selengkapnya.....

Tuesday 17 June 2008

Wajah Baru

Halooo.

UPTI kini hadir dengan wajah baru. Seiring dengan perkembangannya yang semakin semarak di tengah hiruk-pikuk suasana kampus yang hidup di dalam dirinya.

UPTI menyadari, bahwa sesuatu yang mutlak adalah perubahan itu sendiri. Kepastian, ibarat kemustahilan yang tidak bisa dicapai. Tidak akan pernah. Hanyalah kesadaran itu yang dapat menolong kami dari ketiadaan. Ketiadaan imajinasi, ketiadaan daya pikir, ketiadaan emosi, juga kebijaksanaan.

UPTI ingin hidup dengan segala sisi yang ia punya. Mengawali, menengahi dan mengakhiri dengan cara yang ia pilih sendiri.

Selamat datang kembali! [jp] Selengkapnya.....